“Istriku tersayang, ingatkah engakau akan kisah tentang Savana Berkabut ?”
Tanyaku kepada istriku yang sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk kami santap bersama-sama.
“tolong kisahkan kembali kepada istrimu ini wahai suamiku. Mendengarmu berkisah itu seakan mengembalikan duniaku kepada masa-masa dimana dunia ini hanya terasa ada kita saja yang menempati.”
Tanggap istriku dengan nada memelas.
“dengan sengan hati permaisyuriku”.
Pagi itu seorang pemuda baru saja terbangun dari tidurnya, mengusap-usap matanya, menggaruk-garuk kepalanya, serta menggeliat sembari bangkit dari tidurnya.
Lalu pemuda itu memandang ke arah jam dinding, “astaga, sudah jam 9 pagi, aku akan bertemu dengan kekasihku esok hari, sementara perjalanan untukku bertemu menempuh 12 jam perjalanan pula, aku harus segera bergegas”.
Dengan keterkejutan yang mengguncangkan, pemuda itu berucap sendiri dan lansung menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi.
Usai ritual pagi itu ia kerjakan, segera ia bergegas memandikan sepeda motor tua andalanya di pinggiran sungai yang ada di belakang rumahnya.
Air sungai yang jernih dan mengalir perlahan, memudahkan bagi manusia untuk beraktivitas dengannya.
Ada yang mencuci pakaian, mencuci peralatan makan, mencuci kendara.an, membersihkan badan, juga ada yang membuang kotoran. Dan mereka ada di posisinya masing-masing, hulu sungai ditempati oleh masayarakat yang mandi pagi, bagian tengah mencuci pakaian, dan bagian hilir tentunya yang buang kotoran.
Ramai orang-orang saling bercengkrama dengan asiknya, ditambah suasana alam yang mendukung pula.
Rimbun pepohonan yang ditiup angin sepoi, gemercik air sungai yang menghantam bebatuan, kicauan burung-burung kecil yang menyanyikan senandung mereka masing-masing.
“heiii Ahmad”, sapa seorang bapak-bapak kepada pemuda itu yang sedang asik membersikhan sepeda motornya.
“yaa pak”. jawabnya.
“hendak kemana engkau hari ini ?, pagi-pagi motormu sudah engkau mandikan, kamu sendiri saja belum mandi “.
“saya mau ke bank qalbu , membongkar tabungan rindu yang sudah terisi penuh”. jawab pemuda itu sambil tersenyum.
Bapak itu tertawa sambil berkata “ hahahaha kamu ini, pandai sekali berkata-kata”
Pemuda itu hanya tersenyum sambil bersiul-siul dan terus melanjutkan pekerjaannya.
Nyanyian alam pagi itu memicu semangat sang pemuda untuk segera menyelesaikan seluruh persiapannya, alih-alih membongkar tabungan rindu yang telah terisi penuh miliknya.
Satu - persatu persiapan telah ia selesaikan. Mulai dari bangun tidur, mencuci motor, mandi , sarapan pagi, bersolek di depan kaca, semua sudah dilakukan.
“saatnya berangkat, tunggu aku diriku yang disana”. kata pemuda itu sambil bergaya di depan cermin.
Dimulai dengan memanjatkan do’a, pemuda itu menancap gas sepeda motor tuanya. Kecepatan 60km/jam cukup baginya melaju di sepanjang pinggiran jalan kota.
Jalanan yang mulai padat dengan kendaraan tak menghentikan laju sepeda motornya. Kegesitan sang pemuda dalam mengendarai motor sudah teruji sertifikasi dibuktikan dengan SIM yang dimilikinya.
Sesekali pemuda itu berhenti melepas penat dalam perjalanan, sekedar meneguk beberapa kali air mineral yang dibelinya di warung pinggir jalan.
“haaaaah, tak lama lagi aku akan tiba kekasihku, sambut aku dengan peluk hangatmu”. gumam si pemuda sambil berharap.
Sekitar jam 9 malam ia sudah sampai di kota tempat kekasihnya saat itu berada. Untuk menginap, pemuda itu menelfon kerabat terdekatnya yang tinggal di kota yang sama dengan kekasihnya.
“mak cik, mak cik.... ini aku Ahmad.... tolong bukakan pintu mak cik, aku datang dengan sekarung kerinduan”.
“iyaa iyaa sebentar.” seorang wanita paruh baya keluar dari kamarnya dan berjalan menuju pintu.
“ada-ada saja kau ini, baru datang jam segini teriak-teriak pula, adikmu jadi bangun karenanya, lalu mana karung rindumu ?” jawab wanita itu sambil membukakan pintu untuknya.
“bagaimana lagi mak cik, rindu itu datang membabi buta saat mentari senja tenggelam dibalik cakrawala, haha aku bisa apa ? ......oh iya ini aku bawa makanan untuk adikku Aisyah.”
Pemuda itu menyodorkan sekantong plastik kue-kue kering kepada mak ciknya.
“ooo ini yang sekarung rindu” cetus mak cik.
Pemuda itu tertawa dan berkata “hehehe berawal dari sini mak cik”.
“yasudah, mak cik sudah siapkan tempat tidur untukmu, pergilah istirahat.... bukankah besok kamu ada acara katanya, acara apa ?” tanya mak cik.
“aku ada pertemuan penting dengan salah seorang yang berpengaruh di bumi, jika tidak ada dia , tak lengkap bumi saat ini”. jawab si pemuda.
“halah, terserah kamu saja, mak cik mau tidur”. mak cik berjalan menuju kamarnya sambil membawa sekantong plastik kue-kue yang dibawa pemuda itu untuk adik sepupunya.
Mak cik merupakan adik paling kecil dari ayah si pemuda, memiliki seorang anak perempuan berusia satu setengah tahun. Anak perempuannya ini berperawakan bule dengan kulit putih dan rambut pirang keemasan. Dia sudah bisa berjalan dengan langkah perlahan sambil mencari-cari pijakan, dan juga kata perkata sudah mulai bisa ia ucapkan, seperti memanggil bundanya “ndaa”, ayahnya “yaah”, dan juga si pemuda biasa dipanggilnya dengan “waan”, dalam bahasa daerahnya berarti abang.
Malam itu si pemuda tidak dapat bertemu dengan adiknya itu, kata mak ciknya anaknya sudah kelelahan bermain sepanjang hari tadi, berjalan ke sana-kemari, acak ini-acak itu, tumpahkan ini lempar itu, namanya juga anak kecil.
Motor tua andalan si pemuda di masukkan dalam garasi rumah “ besok kau akan menjadi saksi kisah perjalanan dua insan yang telah lama menabung rindu dalam karung”. kata pemuda itu sambil tersenyum dan mengelus-elus motornya.
Sembari merebahkan tubuhnya, si pemuda terus memandangi jam dinding yang bergerak merayap. Waktu terasa begitu lama.
Sebentar ia pejamkan mata, lalu kembali ia buka ternyata hanya sedetik waktu berlalu.
Begitu seterusnya, hingga perlahan matanya mulai terpejam untuk beberapa saat, namun tak butuh waktu lama sampai matanya terbuka kembali. Dilihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Hari telah berganti dari kemaren menjadi esok, dari tadi menjadi saat ini.
“ayolaah sang waktu, jangan halangi kami untuk bertemu, percepatlah langkahmu sampai hari menuju pagi , gejolak jiwaku sudah tak terbendung lagi, sudahlah hentikan candaanmu ini, sampai kapan kau buat aku menanti, ?” si pemuda sibuk mengoceh sendiri. Dia kesal dengan perjalanan waktu yang seolah mempermainkannya.
Di sisi lain, sang kekasih pun merasakan hal yang sama dengan si pemuda, menanti aliran sang waktu.
Sejak kemarin dia juga sudah mempersiapkan segala sesuatunya.
Mulai dari baju apa yang akan dipakai, memilih kerudung yang sesuai, menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya, dan menyiapkan kata-kata untuk berbincang-bincang dengan kekasihnya, ditemani seorang sahabat yang satu tempat tinggalnya ia cetus meminta saran.
“Besok sebaiknya aku pakai baju apa ya ? kira-kira selaras tidak ya dengan baju yang dipakai diriku yang disana ? sebentar...sebentarr.” Gadis muda yang cantik jelita itu mengkerutkan keningnya seraya berpikir. “ooo iya, di menyukai warna hitam untuk pakaiannya.” si gadis lansung mebongkar lemari pakaiannya mencari baju yang berwarna hitam. “nah ini dia bajunya”. gumam sang gadis sambil membuka lipatan baju yang baru saja di ambilnya dan lansung mencobanya kemudian berkaca di hadapan cermin dan menilai-nilai penampilannya sendiri.
“lalu kerudungnya....... “. Sambil memilah-milah kerudung-kerudung yang dimilikinya.
“ini saja sepertinya”. kerudung yang baru saja di ambil sang gadis berwarna dasar hitam dan memiliki corak cokelat, abu-abu dan krem.
“okee.... pakaian sudah, tugas juga sudah. Naaah ini yang akan jadi masalah, apa yang akan kuperbincangkan dengannya nanti ? sudah tau kalau aku ini pemalu, apalagi dengannya sosok laki-laki yang sudah kucinta sejak lama, tak bisa kutahan kekeluan lidahku nanti, tapi apa mungkin hanya diam saja, tak satupun kata yang akan dirangkai menjadi sebuah kalimat canda misalnya...? aku kan bukan elit politik yang dengan mudahnya beretorika menjadikan pengikutnya ternganga dengan janji imitasinya, aaaaahhh.......”. gadis itu berbincang dengan dirinya sendiri yang ada di dalam cermin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sedang kebingungan.
Dan dimalam harinya ia berbincang-bincang dengan waktu. “hai waktu, aku ingin berterus terang kepadamu. Saat ini aku tak sabar menanti datangnya hari esok, aku ingin menghabiskan sisa-sisamu yang ada padaku dengan laki-laki yang merasakan dirinya ada padaku dan aku pada dirinya. Kau tau kan, kalau aku ini tak mudah mencintai, tapi entah mengapa dia bisa membuatku jatuh cinta kepadanya, dan sekali aku jatuh cinta akan sulit pula bagiku melepasnya. Dan aku tak tau kapan kau akan habis dari hidupku, maka dari itu, percepatlah lajumu hingga aku dapat mengenyam hidup bersama dengannya, tentu atas seizin pemilikmu pula. Aku juga yakin saat ini dia sedikit kesal denganmu , tapi percayalah dia begitu hanya karena ingin segera berjumpa denganku, kuminta kau dapat memakluminya.”
Keesokan paginya si pemuda dikagetkan dengan suara kecil yang memanggil-manggilnya. Dia sangat kenal dengan suara itu. Suara halus dan lembut milik satu-satunya perempuan cilik yang ada di dalam rumah. “wan ... waann... waann” perlahan suara itu terdengar jelas di telinga si pemuda, hingga ia buka kedua matanya , dan ternyata benar adik kecil berperawakan bule itu yang telah membangunkannya.
“iya..iyaaa uwan bangun”. pemuda itu bangkit dari tidurnya dan mencium kening adiknya itu.
“adik uwan makan apa itu ?” tanya pemuda itu kembali.
“tuee”. jawaban dari adiknya ini membuat si pemuda tertawa gemas, perlahan adiknya mulai belajar berbicara kata perkata, meskipun masih cadel.
Adik kecil itu berlalu meninggalkan si pemuda pergi menuju bundanya dengan langkah pelan dan sambil mengunyah kue yang dibawanya.
Segera pemuda itu beranjak dari tempat tidurnya, mengambil handuk dan kemudian mandi.
Setelah semua persiapan selesai, pemuda itu pamit kepada mak ciknya dan berangkat menuju kediaman sang kekasih. Dalam rencana mereka bertemu tepat jam 07.00 pagi.
Jarak dari rumah mak cik ke kediaman kekasihnya hanya sekitar 10 menit menyusuri jalanan kota.
Embun pagi yang cukup tebal serta dinginnya merasuk ke tulang tak menghentikan laju pemuda itu untuk segera beranjak menuju kekasihnya. Dengan kecepatan 40km/jam cukup baginya untuk menghirup udara pagi yang begitu segar menjernihkan jiwa dan raganya tanpa ada kepengapan dari asap kendaraan dan bau-bau pembuangan pabrik.
Lalu iya memasuki lorong-lorong sempit yang penuh dengan coretan dinding, berbagai macam rupanya. Ada karikatur pak Jokowi dan pak Prabowo sedang berpelukan, ibu Megawati yang sedang memandang ke arah langit melihat satelit dengan tatapan kegirangan, pak Soeharto sedang mengokang senjata, ada juga gambar tikus-tikus besar berbadan buncit yang dipakaikan dasi. Gambar-gambar itu dibingkai dengan tulisan-tulisan nyeleneh yang berupa kritikan . namanya juga coretan dinding kota kata Iwan Fals.
Sampai di ujung lorong, si pemuda berhenti dan melihat jam tangannya, kurang dari 5 menit sebelum perjanjian, akhirnya dia memutuskan untuk menanti kekasihnya disana.
Tepat jam 07.00 pagi mencul dari kejauhan sosok wanita yang berbaju kurung hitam dan kerudung berdasar hitam bercorak cokelat, krem, dan abu-abu. Perlahan ia pandangi dengan seksama siapa dibalik sosok nan anggun itu. Di dalam hati pemuda itu bergumam “engkaukah itu kekasihku ?” jika ia segeralah datang padaku, aku datang bersama jiwa dan raga yang berbalut rindu menjemputmu.”
Dan ternyata benar, sosok gadis nan anggun itu ialah kekasihnya, dengan senyuman manis dari bibir indahnya sang gadis menyapa si pemuda “ sudah lama menungguku ?”. tanyanya.
“menunggumu, tak kenal aku dengan kata lama”. jawab si pemuda tersenyum lalu menyodorkan helem untuk kekasihnya.
Kedua insan itu pun berangkat meninggalkan kediaman sang gadis. Mereka kembali melewati lorong-lorong yang penuh dengan seni karikatur.
Si pemuda kembali melirik gambar-gambar itu, pak Jokowi dan pak Prabowo yang tadi berpelukan mengacungkan jempol kepada mereka berdua, bu Mega yang tadi melirik ke satelit sekarang memelototi mereka dan pak Soeharto mengacungkan senjatanya kearah pemuda seakan berkata “kau jaga kekasihmu itu sebaik-baiknya, atau tak bedil ndasmu”.
Si pemuda tersenyum dan menoleh ke arah jalanan seraya meneruskan perjalanan.
“lama tak kulihat senyummu itu kekasih, sejak terakhir kita bertemu 6 bulan yang lalu, masih saja membuatku terpesona, dan membuat mataku tak berkedip sedetikpun.” oceh si pemuda kepada sang gadis.
“kau tau kekasih, senyumku ini ada jika hanya melihat rona bahagia di wajahmu, saat kau tersenyum, bibir ini pun bergerak dengan sendirinya memperlihatkan betapa inginnya iya berucap aku sangat mencintaimu.” jawab sang gadis kepada si pemuda.
“dan apakah engkau tau kekasih..? bahagiaku ada ketika kupejamkan mata, merasakan hadirmu di tubuhku, memeluk erat ragaku dalam selimut kasih dan sayang.”
Tanpa pikir panjang, sang gadis melingkarkan tangannya di pinggang si pemuda.
“begini maksudmu ?” tanya sang gadis.
“aku tak memintamu memelukku dan aku juga tidak melarang jika kau peluk aku, itu terjadi jika hanya engkau mau, maka dengan senang hati aku menerimanya. Aku malu memintamu menghangatkanku, tapi aku lebih malu jika tak mampu menghangatkanmu dari dinginnya alam dan kehidupan.”
“lalu hendak kemana akan engkau bawa aku ?”. tanya sang gadis lagi.
“kesuatu tempat dimana kita bisa merasakan gairah pagi dan menikmati perenungan di sore hari. Seperti kata mbah Tejo, negara kita ini kebanyakan pagi namun kekurangan senja, kebanyakan gairah tapi kurang akan perenungan.” pemuda itu berkata layaknya seorang motivator yang sedang berbicara dihadapan masanya.
“aku ingin seluruh perjalanan kita engkau dongengkan setiap saat kepadaku, menjadi penghantar tidur, memberi gairah dalam hidup, merasakan indahnya cinta. Aku suka dengan caramu berbicara, dalam setiap katamu selalu mengandung seribu makna, aku ingin ketika engkau dongengkan, cinta kita akan semakin kuat dan zaman pun tak mampu mengikisnya, karena setiap kali engkau dongengkan aku merasa kejadiannya baru terjadi kemarin.” kata sang gadis
“sudah kukatakan kepadamu, jika hanya engkau mau”. jawab si pemuda.
Si gadis pun tersenyum mendengar jawaban si pemuda.
Pagi itu jalanan kota tersa sangat sepi, hanya 10 sampai 15 kendaraan yang mereka lewati. Kabut yang menyelimuti terasa begitu dingin dan menjalar ke bagian tubuh paling dalam. Jarak pandangpun tidak begitu jauh, hanya sekitar 10m dihadapan.
Singkat cerita, mereka pun berhenti di sebuah warung makan yang ada di pinggiran danau Cemara. Mengisi kekosangan perut yang sedari tadi telah keroncongan karena belum sempat sarapan pagi , sudah dikejar waktu katanya.
Sambil menyantap hidangan, obrolan pun mereka lanjutkan.
“apakah di sini tempat yang engkau maksud ? “ kata sang gadis.
“ini baru permulaan, hanya sekedar singgah untuk sarapan.” jawab pemuda tersenyum.
“oooohh begitu”. jawab si gadis sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian memanyunkan bibirnya dan menggembungkan pipinya.
Pemuda itu kembali tersenyum melihat tingkah kekasihnya.
“kenapa engkau selalu tersenyum saat aku berbicara ?.” si gadis menatap dalam kepada si pemuda..
“seperti halnya dirimu, aku juga suka melihatmu berbicara.” jawab si pemuda.
“itu saja ?”. si gadis pun kembali bertanya.
“aku punya alasan lain yang menyebabkanku tersenyum saat melihatmu.”
“apa ?” si gadis semakin penasaran.
“kau akan temukan jawabannya nanti setelah kita sampai di tempat yang kita tuju.”
“yaah menunggu lagi, kau tau hal yang paling membosankan dalam hidup ini ?” tanya sang gadis kembali.
“apa “?
“menunggu kepastian.”
Setelah memberikan jawaban, si gadis mengalihkan pandangannya ke arah danau, menunjukkan kekurang senangannya terhadap kondisi saat itu.
Lalu dengan tenang dan tersenyum pemuda itu memberikan sebuah jawaban yang menyebabkan gadis itu terdiam.
“dan apakah engkau mengetahui , yang paling sanggup menjawab kekuatan akan cinta adalah penantian ..? “
Mata si gadis pun berlinang mendengar jawaban kekasihnya, dan dengan lembut ia berkata.
“aku tau engkau selalu mampu meyakinkan hatiku ini, itulah mengapa aku memilihmu untuk kutemani dalam setiap perjuangan hidup yang akan kita lalui.”
Tak terasa saking hangatnya obrolan mereka, hidangan sarapan pagipun sudah habis dimakan. Perut yang sudah terisi memberikan tenaga baru untuk melanjutkan perjalanan.
Mereka pun berlalu dari tempat persinggahan tadi, menyisiri pinggiran danau yang masih diselimuti kabut pagi. Sesaat awan mendung pun mulai menurunkan gerimisnya. Namun gerimis tak menjadi penghalang bagi mereka untuk terus melaju.
Mereka pun sampai di persimpangan jalan. Dengan gesit pemuda itu membelokkan motornya ke arah kanan.
Selama perjalanan, mereka menyenandungkan lagu-lagu romantis tahun dua ribuan.
Tiba-tiba dari belakang mereka di lewati oleh seseorang yang mengendarai sepeda motor dengan monyet yang menjadi penumpang sambil berpegangan kepada pengendaranya.
Sontak sepasang kekasih itu tertawa terkekeh, menyaksikan pemandangan di depan mata mereka. Lebih-lebih si gadis yang tak kuasa menahan tawanya, sampai dia menepuk-nepuk pundak kekasihnya.
Tak terelakkan untuk tertawa, monyet yang sedari tadi itu berpegangan kini bangkit dan melenggang lenggokkan bokongnya yang besar ke arah mereka, hingga si gadis pun mencubit-cubit punggung si pemuda sambil tertawa terpingkal-pingkal.
“hahhaha hahaha haaha, aduuhh, aduuuh, hahhaahahaha” tawa si gadis yang kini memegangi perutnya.
Hingga mereka sampai ke persimpangan selanjutnya, monyet dan pengendara dadi berbelok ke arah kanan, sementara mereka berbelok ke arah kiri.
Bagi si pemuda, atraksi monyet tadi tidak terlalu lucu, akan tetapi ia tertawa mendengar tawa dari kekasihnya.
Kini mereka melewati tanjakan yang jalannya berlobang, dengan erat si gadis terus melingkarkan tangannya di pinggang si pemuda, sesekali ia menjerit ketakutan ketika motor hampir masuk ke arah lobang.
Akhirnya mereka sampai di area parkiran tempat yang akan mereka kunjungi. Karena terlalu pagi dan juga gerimis yang tak kunjung berhenti, hanya ada mereka berdua di sana.
Setelah memarkirkan sepeda motor, mereka berteduh di sebuah warung kecil yang belum di datangi pemiliknya. Warung itu bisanya ramai ketika hari libur, banyak pengunjung yang ingin menikmati pesona alam di sana.
“jadi di sini tempatnya ?” kata sang gadis.
“di sana”. kata si pemuda menunjuk kearah tebing yang curam.
“kau yakin ?, lalu bagaimana kita menaikinya ? lalu kalau seandainya bisa, apa jalannya tidak licin, karena gerimis ini ?, dan kalaupun bisa, apakah kita mau hujan-hujanan disana ? sementara hujan terus turun dan juga kabut yang begitu tebal, apa yang mau kita lihat di sana ?”
Lima pertanyaan lansung terlontar dari mulut sang gadis, merasa sedikit kecewa dengan tempat yang baru ia saksikan.
“tenanglah sejenak kekasihku, jalannya ada di sebelah sana”. pemuda itu menunjuk ke arah jalan kecil yang berupa tanjakan. “mungkin memang sedikit licin, tapi aku yakin engkau akan sanggup menuju puncaknya, bagaimana kita mau menaklukan puncak pelaminan jika puncak ini saja tak mampu kita taklukan, dan juga kita tunggu sebentar hujannya reda, panas itu ada teduhnya dan hujan pun pasti ada redanya, serta apa yang akan kita lihat, engkau saksikan sendiri saja nanti.”
Si pemuda pun menjawab habis pertanyaan dari sang gadis.
Beberapa saat mereka menunggu, hujanpun akhirnya berlalu. Kabut pun perlahan merambat naik menuju langit.
“naaah hujannya sudah reda, ayo kita bersiap menanjak”. kata si pemuda
Si gadis hanya menurut dan menggenggam tangan kekasihnya dengan erat.
Perlahan mereka menaiki tebing itu, sambil berpegangan tangan. Si pemuda memandu jalan kekasihnya dengan sangat teliti dan hati-hati.
Nampak raut wajah ketakutan dari sang gadis, namun ia tetap mencoba menegarkan hatinya dengan ada kekasih di sisinya. Sesekali terpeleset, gadis itu mendesah kecil dan mengencangkan pegangannya kepada si pemuda.
Hingga beberapa meter menjelang puncak, tanjakanya pun semakin curam, jika saja tidak basah, pasti bisa di naiki dengan mudah.
“tinggal sedikit lagi untuk kita sampai kepuncak, bertahanlah, sungguh penatmu akan terbayar jika telah sampai di sana.” kata si pemuda menyemangati sang gadis.
“sungguh aku takut kita akan terjatuh dengan jalanan yang licin ini, aku tak mau yang pulang dari kita hanya nama”. timpal sang gadis.
Tanpa menjawab, pemuda itu kembali menggandeng tangan kekasihnya dengan erat.
Maka di dalam hati sang gadis hilang ketakutan seketika.
Mereka pun memandangi tanjakan terakhir itu, dan mulai berjalan dengan perlahan.
Desahan nafas yang kian kencang, membuktikan bahwa stamina mereka berdua sudah mulai terkuras habis.
Dan di pertengahan tanjakan, si gadis kembali tergelincir hingga badannya di rebahkan dengan posisi menelungkup. Dengan cekatan pemuda itu lansung merebahkan tubuhnya dan memegangi tubuh sang gadis agar tidak terperosot ke dalam jurang.
Gadis itu pun menangis tersedu, lantaran takut akan terjadi hal buruk yang dipikirkannya.
Si pemuda kemudian memapah sang gadis utuk mengambil posisi duduk. Dalam tangisnya gadis itu berkata
“pulaaang, aku mauuu pulaang, aku takuut.”
Melihat air mata yang terkuras di pipi sang gadis, memunculkan rasa iba di hati si pemuda dan ia pun menjawab.
“iyaaa kita pulaang”. sambil mengusap-usap bahu kekasihnya
Membayangkan perjuangan sang gadis yang sudah jatuh bangun , merangkak dan terjerembab hingga sampai di titik dimana saat ini mereka berpijak menjadikan luluh hati si pemuda.
Perlahan tangisan gadis itu mulai reda, dan dalam keheningan itu ia berkata
“sungguh aku sangat menyayangimu, aku ingin hidup bersama denganmu, aku ingin menikah denganmu, menjadi istrimu dan ibu dari anak-anakmu, aku ingin kalaku menutup mata, engkaulah yang ingin ku lihat untuk terakhir kalinya, dan kalaku membuka mata engkaulah yang kulihat saat pertama.” dalam perkataannya, si gadispun merangkul pinggang si pemuda dan memeluknya dari samping.
Si pemuda yang kehabisan kata-kata, dan tak tau harus berkata apa hanya mengeratkan rangkulannya dan menyandarkan kepala sang gadis di bahunya. Apalagi yang bisa ia katakan selain “aku juga ingin akan hal yang engkau inginkan.”
Sinar surya pun perlahan mulai terlihat, kabut yang tadinya tebal perlahan menyibak apa yang ia sembunyikan. Pepohonan yang rindang, aliran sungai yang mengalir deras suaranya bergemuruh sampai ketelinga mereka, dan penampakan danau yang tadi mereka singgahi di selimuti awan tipis.
Hangatnya mentari pun mulai terasa. Energi yang tadinya sudah terkuras habis perlahan mulai terisi kembali setelah istirahat dalam beberapa waktu.
“lalu bagaimana selanjutnya ?, apakah kita tetap akan pulang ? atau berjalan sepuluh langkah lagi menuju puncak ?” tanya si pemuda.
“aku mau ke puncak”. jawab sang gadis tegas.
Lalu mereka bangkit dari duduknya dan lansung melangkah menuju puncak. Jalan yang tadi basah dan licin, sudah mulai mengering karena panas matahari sudah menyelubungi bumi.
Puncak yang mereka tunggu-tunggu akhirnya di taklukan. Si gadis memandangi sekitarnya dan berputar secara perlahan menyaksikan sekelilingnya.
Tak bisa ia berkata-kata, maka dengan air mata haru ia tampakkan rasa bahagianya.
“hijaauuu mata memandang..... savana berkabut yang membentang......jurang yang begitu curam.....danau di balik awan... pepohonan tegak menjulang.... aliran sungai deras menghantam bebatuan...gemuruh angin lembah membawa kesejukan... oohh alam, sampaikan terimakasihku kepada penciptamu, katakan... aku mencintaiNya.”
Pemuda itu mendendangkan sajaknya di hadapan sang gadis, seolah mewakilkan isi hati dari kekasihnya yang tak terucapkan oleh kata-kata.
Lambaian padang rumput hijau yang di tiup oleh angin sepoi, memberi kenyamanan di hati mereka.
“ayo kita cari posisi duduk yang pas untuk menikmati wejangan alam ini”. kata si pemuda sambil menggenggam kembali tangan si gadis dan kembali berjalan menyusuri padang rumput yang setinggi lutut mereka.
Sampailah mereka di bawah pohon yang rindang, dan mereka dapat berteduh di bawahnya dari pancaran sinar matahari yang kian terik. Awan mendung yang tadi menaungi sudah berganti menjadi langit biru yang jernih dan gagahnya mentari menyinari kehidupan di bumi. Awan tipis yang tadi menutupi danau cemara, kini telah habis seketika. Hingga tampak jelas ukuran danau, pesawahan di sekelilingnya, pohon-pohon kelapa yang tadinya mereka lihat dari bawah ke atas, saat ini menatapnya dari atas ke bawah.
Lalu mereka kembali melanjutkan obrolan. Kali ini mereka membahas pernikahan yang sebentar lagi akan mereka laksanakan.
“wahai kekasihku, tak lama lagi kita akan menuju puncak pelaminan, sudah siapkah engkau akan hal itu?” si pemuda memulai obrolan.
“jangankan sekarang, sejak aku mengenal dirimu aku sudah bisa membayangkan masa depan, dan saat itu juga kusiapkan diriku untuk menikah, dan kapanpun engkau nyatakan, aku sudah siyap dengan jawaban “iya””. jawab sang gadis mantap.
“dan aku juga ingin meminta satu hal kepadamu”. tambah sang gadis.
“apakah itu kekasihku ?”. tanya pemuda itu penasaran.
“aku ingin nanti setelah kita menikah, engkau terus dendangkan sajak-sajakmu kepadaku dan aku juga ingin engkau dongengkan selalu kisah perjalanan kita, dan juga engkau kisahkan pula pada anak-anak kita, agar mereka tau bagaimana perjuangan kita untuk bersama, bagaimana perjuangan menapaki puncak, merasakan alam menyelubungi tubuh, agar meraka belajar arti kedamaian hati.”
“mintalah segala sesuatu yang engkau inginkan kekasihku, jiwa dan raga ini yang akan bertanggung jawab atas dirimu setelah orang tuamu dan dirimu sendiri, jika aku mampu betapapun sukarnya permintaanmu, dengan senang hati kupenuhi. Jangankan untuk sekedar bercerita dan mendendangkan sajak.”
Mendengar jawaban dari si pemuda gadis itu tersenyum tersipu dan kembali memandangi danau yang ada di depan mata.
“oh iya, bicara soal anak-anak, kau ingin anak kita memanggil apa kepada kita ?” tanya pemuda itu sedikit tertawa.
“hahahaha iyaaa yaa, aku tidak mau panggilannya yang sudah sering digunakan orang , contohnya saja ayah dan bunda, ayah dan ibu, papa dan mama, papi dan mami, umi dan abi, sebaiknya kita cari yang lain saja.” jawab gadis itu kepada si pemuda.
“yaa apaa ?” pemuda itu kembali bertanya dan merebahkan tubuhnya di atas rerumputan dibahawah pohon yang rindang.
“naah bagaiman kalau ami dan api ?” sang gadis mencoba memberi solusi dan juga merebahkan tubuhnya diatas rerumputan di sebelah si pemuda.
“apakah ada artinya ?” tanya pemuda itu kembali.
“ami itu Anaknya MamI, api itu Anaknya PapI, bagaimana ?” si gadis menanya balik.
“hahahahaha yasudah kalau begitu nanti kita dipanggil ami dan api oleh anak-anak kita”
Mereka pun tertawa-tawa bahagia membahas perencanaan kehidupan mereka mendatang hingga mereka tertidur pulas di bawah teduhnya pohon dengan tiupan angin sepoi-sepoi.
Ketika matahari sudah di batas cakrawala, langit dan air danau berubah warna menjadi oranye.
Pancaran mentari senja itu akhirnya membangunkan mereka.
“cukup lama kita tertidur, matahari pun malu untuk membangunkan kita, sehingga separuh badannya ia sembunyikan.” kata si pemuda kepada si gadis.
“haaaaaaa sungguh indah pemandangannya, aku merasakan ketenangan di dalam hati, kesejukan dalam pikiran, aku ingin merenung memperhatikan matahari tenggelam.” kata sang gadis dengan takjub.
“ini yang aku maksud dengan pagi penuh gairah dan senja cukup akan perenungan. Dan satu lagi aku belum mengatakan alasanku tersenyum saat melihatmu kan ?, ini lah jawabannya.” kata si pemuda.
“aku tak mengerti maksudmu ?”si gadis kebingungan mendengar jawaban pemuda.
“aku tadi melihatmu tersenyum mulai dari saat pandangan pertamamu melihat savana, danau dari ketinggian, jurang yang curam, aliran sungai, tiupan angin lembah, sampai menyaksikan matahari bergelantungan di cakrawala, kenapa ?” tanya si pemuda.
“yaaa karena tak cukup kata-kataku mengungkapkan betapa indahnya”. jawab sang gadis.
Kemudian mereka saling bertatapan dan saling berbagi senyuman atas pertanyaan dan jawaban yang dijawab oleh alam.
“selesaaaiii”.
“sungguh suamiku, caramu berkisah itu salah satu yang menyebabkan aku jatuh cinta kepadamu, apalagi sajak-sajakmu yang menceritakan aku, memberi semangat untuk hidup lebih lama denganmu”.
“amii, amiii, aku mau nasi goreng mii.”
“siyap putri kecilku, kamu tunggu di meja makan ya, ami buatkan untuk kamu sama api.”
“baik amiiku tersanyang”.
Wow👍👍👍
BalasHapusMantappp
Hapus